DPRD Sumut dan Luka Kebebasan Pers

Jurnaltransparansi|Medan-Pengusiran wartawan oleh anggota DPRD Sumut, Edi Surahman Sinuraya, dalam rapat dengar pendapat dengan Dinas Pendidikan adalah tamparan bagi demokrasi. Wartawan hadir tanpa pernah diberitahu bahwa rapat tertutup. Ia hanya menjalankan mandat konstitusional pers: mencari dan menyampaikan informasi publik. Tindakan mengusir, apalagi dengan cara arogan, bukan sekadar persoalan etika, melainkan berpotensi melanggar Pasal 18 ayat (1) UU Pers No. 40/1999 yang tegas melarang penghalangan kerja jurnalis dan mengancam pidana hingga dua tahun.

DR. Shohibul Anshar M.Si tokoh pendidikan dan aktivis senior Menjelaskan kepada Awak media Argumentasi bahwa rapat bersifat tertutup tidak serta-merta membenarkan pengusiran, sebab prosedur penutupan rapat harus jelas dan diumumkan sejak awal. Tanpa itu, pengusiran hanya menunjukkan sikap sewenang-wenang. DPRD sebagai representasi rakyat justru memperlihatkan wajah tertutup, padahal fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran hanya sah bila dikawal publik, antara lain melalui media.Rabu (20/109/2025)

Secara etis, perilaku membentak wartawan memperlihatkan rendahnya penghormatan terhadap pers. Padahal pers bukan musuh, melainkan mitra demokrasi yang memastikan rakyat mengetahui kerja wakilnya. Partai Golkar memang memanggil Edi, tetapi teguran saja tidak cukup. Dibutuhkan sanksi nyata dan perbaikan prosedur internal DPRD agar kejadian serupa tidak berulang.

Kasus ini adalah pengingat bahwa kebebasan pers bukan sekadar hak jurnalis, tetapi hak publik untuk tahu. Setiap kali pejabat publik menghalangi kerja pers, yang dirampas bukan hanya kemerdekaan wartawan, melainkan juga hak rakyat atas informasi. Demokrasi tanpa keterbukaan hanyalah formalitas; dan keterbukaan hanya hidup bila pers dibiarkan bekerja tanpa intimidasi.(BB)